Kamis, 29 November 2012

Pendidikan yang Memerdekakan


Merdeka memiliki banyak arti jika kita sematkan ke berbagai golongan masyarakat, tidak hanya di negara ini, tapi juga di seluruh dunia. Menjadi merdeka tidaklah mudah. Sebelum mencapai kemerdekaan itu sendiri tentunya seseorang perlu atau bahkan harus sadar mengapa dan untuk apa menjadi merdeka bagi dirinya. Kesadaran itu pun tidak timbul bagaikan petir di siang bolong. Kesadaran itu muncul dari pengamatannya terhadap kejadian – kejadian yang ia lalui setiap hari. Perlu sepasang ‘mata’ untuk melihatnya dan sebuah ‘pikiran’ untuk mencernanya. Kemudian kedua hal tersebut dapat diurai melalui pendidikan. Karena bisa saja seseorang bahkan sekelompok orang yang hidup dari Sabang, Banda Aceh hingga Merauke, Papua tidak sadar bahwa mereka sedang dijajah. Tanam paksa di masa kolonial Belanda sudah seperti kegiatan yang lazim dan tak seorang petanipun di kala itu yang merasa menjadi korban. Rakyat Indonesia dikala itu telah dibutakan oleh nyanyian nina bobo para kompeni dengan persembahan berupa upah padahal jika rakyat waktu itu dapat menghitung hasil tanahnya, hanyalah rugi yang mereka rasakan.
Ketika Belanda dan Jepang telah melepaskan jeratan penjajahan dari tanah nusantara ini pun, masih banyak rakyat Indonesia yang tidak mengerti apa arti merdeka yang hakiki. Merdeka bagi mereka hanya sekedar lepas dari penjajahan Belanda mapun Jepang, diluar itu pastilah mereka merasa merdeka. Ada sesuatu kealpaan dalam diri mereka. Kealpaan dalam jiwa maupun pikiran. Mereka dapat melihat dengan kasat mata tentang segala bentuk kecurangan yang terjadi, tetapi jiwa dan pikirannya tidak dapat memproses hal tersebut dengan baik sehingga yang ia lihat hanyalah sebuah kewajaran.
Pendidikanlah yang tidak hadir di dalam konteks kemerdekaan semu. Seseorang membutuhkan pendidikan untuk mengerti apa itu merdeka, untuk apa merdeka, bagaimana cara untuk merdeka hingga menjalankan terus kemerdekaan itu sendiri. Pendidikan yang saya maksud disini lebih dari sebuah alat. Jika dianalogikan maka pendidikan itu bukanlah sebuah bambu runcing yang para pejuang kita tancapkan ke perut prajurit Belanda, bukan juga sebuah mesin tik yang digunakan Bung Sayuti Melik untuk menuliskan naskah proklamasi. Pendidikan berada melebihi hal – hal tersebut. Pendidikan sekali lagi bukan hanya sekedar tool. Mengapa demikian? Karena sebuah alat bisa saja digunakan untuk keperluan yang bukan seharusnya ia digunakan. Berbeda dengan pendidikan yang hakiki. Ia lahir dari sebuah keinginan, sebuah cita – cita. Ia berdiri di atas norma – norma kehidupan. Ia berjalan bergandengan dengan kejujuran dan idealisme tinggi. Ia bersuara untuk menyelesaikan masalah.
Saya di sini membicarakan tentang keidealan pendidikan. Keidealan yang dahulu dibicarakan bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan haruslah menyeimbangkan ketiga unsur yang terdapat di dalam manusia yaitu jasmani, rohani, dan jiwa agar tercipta manusia seutuhnya. Ketiga hal inilah yang menjadi dasar untuk mendesain pola atau bahkan kurikulum pendidikan. Ketiga unsur tersebut dalam rangka mencapai hasil didikan yang ideal haruslah berimbang dalam proses pertumbuhkembangannya. Manusia yang telah sadar jiwanya pastilah akan berdiri teguh dalam kebenaran – kebenaran ilmiah yang dapat dibuktikan, oleh karena itu pendidikan akademik tentulah penting. Pembekalan individu di bidang keterampilan dapat sekaligus mengolah aspek raganya, memicu untuk bergerak sekaligus bertindak untuk meminimalisir gerakan ‘NATO’ (No Action Talk Only) yang sedang marak menjangkit khususnya kaum muda. Kematangan pengolahan jiwa dan raga yang baik dan seimbang pun belum bisa menjadikan seseorang berkepribadian yang luhur dan mulia tanpa pendidikan rohani yang berkesinambungan, maka jangan heran korupsi merajalela dari tingkatan tertinggi (pejabat negara yang menyelewengkan uang negara) hingga tingkatan terendah (siswa yang membolos dan menyontek) semata – mata terjadi karena pendidikan rohani kini tidak lagi menyentuh jiwa seseorang namun logikanya lah yang distimulus. Siswa muslim dituntut dapat membaca dan menghapal ayat Al-Quran dalam bahasa Arab, namun nanti dulu untuk mengetahui dan memahami isinya. Siswa yang Nasrani dinilai kerohaniannya dengan soal – soal seputar pengetahuan Alkitab yang kini bisa diunduh dalam telepon selular yang malah memicu bentuk – bentuk kecurangan.
Sesungguhnya saat ini ada pergeseran makna dari kata ‘pendidikan’. Ketika tuntutan dunia terhadap tiap individu yang hidup di atasanya semakin tinggi, maka diperlukan kemampuan – kemampuan yang dapat dinilai secara eksak atau keterampilan – keterampilan yang dapat menghasilkan uang. Kasarnya, pendidikan hari ini dijadikan hanya sebatas komoditi industri yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusianya. Tuntutan tersebut kemudian diimplementasikan oleh manusia modern dengan membekali anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dengan pelbagai les atau kursus. Sepulang sekolah si anak harus mengikuti les piano atau biola, hari berikutnya bergiliran les bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan bahasa Jerman. Namun bagaimana dengan nasib kaum papa ? Mereka tanpa akses terlebih – lebih untuk mencapai perihal kursus setelah jam sekolah, bahkan untuk pendidikan formal yang katanya gratis itu saja tidak. Program wajib belajar sembilan tahun sudah dijamin cuma – cuma oleh sekolah – sekolah negeri, namun himpitan ekonomi seakan mewajarkan orangtua untuk membiarkan anaknya bekerja mencari uang dibanding pergi ke sekolah. Ingatlah kembali kalimat yang tertera pada pembukaan UUD’45 tentang penjaminan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana pengimplementasiannya kini? Jika kita cermati lebih dalam lagi bahwa kebijakan neo-liberalisme sedang bertumbuh dan kian menancapkan cengkramannya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Terjadi privatisasi di berbagai bidang (bahkan di bidang strategis) hingga puncaknya adalah pengesahan RUU Perguruan Tinggi. Di dalamnya dengan gamblang menjelaskan otonomisasi keuangan perguruan tinggi dan diizinkannya perguruan tinggi asing membuka cabangnya di Indonesia. Tanpa visi pendidikan yang jelas maka pastilah kedua hal tersebut akan meruntuhkan cita – cita luhur para pendiri bangsa kita untuk mencapai kesejahteraan umum karena tentu saja yang akan menang adalah si kaum borjuis, sedangkan si marhaen dibiarkan tak dapat bersaing dan dijadikan buruh dengan upah rendah.  
Capaian akhir dari proses pendidikan adalah menjadi dewasa sepenuhnya. Karena ketika seorang individu secara sadar telah mengalami pendidikan dan menjalani proses pendidikan yang ideal maka suatu saat ia akan mencapai kedewasaan yang mendorong dirinya untuk mendidik dirinya sendiri. Tahapan berikutnya adalah kesadaran, keinginan, atau dorongan dari dalam diri sendiri untuk mengubah kehidupan orang lain kearah yang lebih baik. Karakter inilah yang menjadi titik awal keberangkatan pendidikan berkarakter kebangsaan. Sehingga dapat terjawablah konsep pendidikan pancasilais untuk membentuk manusia susila yang cakap serta warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab tentang kesejahteraan rakyat tanah air.
Proses mendidik yang ideal bukanlah semata – mata berupa kegiatan belajar mengajar dan melulu perkara latihan soal – soal ujian. Bukan juga sekedar kegiatan menggambar pemandangan alam dengan teknik mewarnai yang benar. Lebih dari itu, seorang peserta didik memerlukan sosok panutan sebagai tempat acuannya dalam menatap masa depannya. Ibarat perbihasa ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’ mengungkapkan bagaimana sosok seorang guru (pendidik) adalah salah satu faktor yang tidak bisa dilupakan dalam pendidikan karakter. Percuma saja seorang guru berbicara tentang saling menghormati dan menghargai dalam mata pelajaran PPKN namun ia ikut terlibat dalam kasus pembenaran soal UN. Terlepas dari peran sentral seorang guru dalam proses belajar mengajar di sekolah, tentulah tanggungjawab dalam memerankan karakter si teladan ini tidak boleh hanya kita sematkan kepada guru saja. Orangtua, pemimpin agama, dan petinggi negara haruslah mau menjaga citra dan integritasnya dengan pola pikir memberikan contoh sekaligus pengaruh positif bagi para penerus generasi bangsa.
Sehingga pada akhirnya segala hal yang berakar kepada moral, jiwa nasionalisme dan tantangan era globalisasi dapat bermuara ke dalam suatu konteks pribadi terdidik yang cinta tanah air. Proses penempaan pribadi tersebut pun kembali lagi kepada konsep dasar penyelengaraan negara yang bertujuan memberikan kesejahteraan umum dengan konteks umum secara harafiah. Bukan maknanya dipelintir sehingga umum tidak lagi berarti seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan yang merupakan hal terfundamental dalam membangun bangsa harus dikembalikan kepada jalurnya lagi. Para pejabat negara ini harus merenungkan kembali tujuan pendidikan bagi Indonesia sehingga tidak tercipta lagi sistem yang mengdiskreditkan mereka yang kurang beruntung atau menjadikan pendidikan suatu alat untuk mencetak kuli – kuli perindustrian hanya demi menjawab tantangan globalisasi namun karakter kebangsaannya dinomorsekiankan. Agar pada akhirnya negara kembali berpihak kepada rakyatnya bukan malah menjadi sang ‘leviathan’ yang angkuh dan acuh untuk melihat rakyat Indonesia merdeka untuk kedua kalinya. 

Rabu, 3 Oktober 2012

Selasa, 11 September 2012

Penelusuran Karst Citata, Padalarang

Karst Padalarang, 9 September 2012
Minggu pagi ini menjadi waktu yang tepat untuk menggerakkan badan dan melihat citra kuasa tanganNya lewat bentuk alam yang tebentang di atas cakrawala. Jadi tidak salah jika aku menjadi salah satu peserta rombongan ‘Geotrek’ yang diadakan oleh HMTG ‘GEA’ ITB sebagai salah satu kegiatan dari rangkaian GSC. Acara GSC ini menurut seorang ‘gea’ adalah proker dwi tahunan yang bertujuan mengenalkan ilmu geologi kepada khalayak luas. Sehingga muncullah geotrek sebagai ‘ajakan’ kepada masa kampus untuk melihat semenarik apa bidang geologi ini. 

Tidak terlalu jauh (sekitar 20 km) dari Jl. Ganesha terdapat jajaran bukit karst di daerah Padalarang. Karst berarti daerah yang terdiri dari batuan kapur atau batuan gamping yang unsur utamanya adalah CaCO3 (kalsium karbonat) . Kalsium inilah yang kemudian dapat diolah menjadi berbagai pemenuh kebutuhan sehari – hari manusia, seperti cat tembok ; pasta gigi ; semen ; pemurnian gula ; dan lain – lain. Namun alangkah terlalu biasanya jika perjalanan ini hanya untuk melihat daerah pertambangan kapur tanpa suguhan fenomena alam. Proses pelarutan kapur menjadi aktor utama dalam membentuk fenomena alam yang setidaknya membuat anda tersenyum dan berdecak kagum. Proses ini terjadi dengan bantuan dua actor utama yaitu air (H2O) dan udara (O2). Merekalah yang akhirnya mengionisasi kalsium karbonat menjadi ion kalsium (Ca2+). Inilah penyebab terbentuknya natural arch bridge pada gunung Hawu, atau fenomena yang mungkin lebih familiar kita dengar stalagmit dan stalagtit pada langit – langit maupun lantai gua. Rute geotrek pun diplot untuk memamerkan fenomena tersebut dan Bapak Budi Brahmantyo bertindak sebagai ‘dalang’nya. Beliau adalah pengajar di program studi geologi ITB dan ketua kelompok riset cekungan Bandung dan Tasikmalaya. Kecintaan dan sensenya terhadap geologi mengantarnya kepada sebuah capaian yaitu penemuan fosil manusia pawon yang umurnya sekitar 9000 - 5600 tahun yang lalu. 

Natural Arch Bridge Gunung Hawu
Gunung Hawu menjadi awal dari perjalanan seru nan melelahkan hari itu. Di balik cerita gunung Hawu, Pasir Pabeasan, dan Gua Pawon terdapat suatu cerita rakyat yang menurut saya mengandung kesan jenaka. Hawu, pabeasan, dan pawon merupakan kata bahasa Sunda yang berarti tungku perapian untuk memasak, tempat beras, dan dapur. Sepengetahuan anda – maupun saya sebelum mendengar cerita dari Pak Budi - pastilah legenda Sangkuriang hanya cerita asal muasal terbentuknya gunung Tangkuban Perahu. Tetapi beberapa orang ‘menafsirkan’ ketika Sangkuriang marah, tidak hanya perahunya saja yang ia tendang hingga terbalik namun sebelumnya ia sudah memporakporandakan seisi dapurnya (pawon) hingga jatuhlah tungku (hawu) berikut tempat berasnya (pabeasan). Jenaka memang jika cerita ini kita personifikasikan akan sebesar apa tubuh Sangkuriang itu. Rombongan kemudian menelusuri jalan setapak untuk naik ke atas dan saya berkesempatan berdiri tepat di bibir lubang gunung Hawu tersebut yang jaraknya dengan kaki bukit menurut Pak Budi mencapai 90 meter. Gunung Hawu ini berdiri tidak sendirian. Ia berdiri sebelah selatan dengan jajaran bukit yang membentang hingga Sukabumi dan Bogor. Jajaran bukit tersebut yang sudah terbentuk sekitar 30 juta – 28 juta tahun silam ini kemudian dikenal sebagai formasi Raja Mandala. Cara berdiri gunung ini yang begitu tegap (sekitar 700 terhadap jurus horizontalnya) dan dindingnya yang berlubang - lubang dimanfaatkan oleh para penyuka tantangan untuk berolahraga wall climbing. Skygers dan Kopasus secara rutin mengadakan latihannya di sini.

Hamparan Batu Stone Garden
Puas dengan panorama Gunung Hawu rombongan kembali ke bus untuk menuju ke lokasi kedua yaitu stone garden. Testimoni Pak Budi terhadap kawasan ini adalah sekitar jutaan tahun silam daerah ini berada di bawah permukaan laut namun karena proses pergeseran lapisan tanah sehingga lapisan ini mencuat hingga >800 mdpl. Pernyataan ini bukan bualan karena memang ditemukan fosil koral dan binatang laut pada batuan di sini. Hal yang menarik dari tempat ini adalah batuan batuan besar yang tersusun acak namun indah. Di puncaknya terdapat sebuah makam yang oleh penduduk sekitar namakan makam mbah Jambrong. Terdapat suatu keganjilan di sana karena terdapat buah batu kali yang notabene ‘asing’ di ketinggian dan daerah karst seperti itu. Diperkirakan pada zaman dahulu kala batu tersebut dibawa dan disusun melingkar oleh sekelompok orang sebagai ritual pemujaan. Isu yang beredar mengabarkan bahwa makam tersebut tak berpenghuni meskipun arah makamnya tepat aturan pemakaman kaum muslim.   

Perjalanan Menuju Gua Pawon
Beranjak dari sana kami kemudian menulusuri jalan setapak yang disebut tanjakkan frustasi. Tak heran dinamakan seperti itu karena memang terrain dan geometrinya yang cukup sulit untuk dilalui. Namun semua itu terbayar lunas ketika kami tiba di saung dekat dengan Gua Pawon untuk beristirahat dan makan siang. Tenaga dan semangat rombongan geotrek pulih kembali ketika kami menyantap makanan yang disediakan panitia sambil beberapa orang mendirikan ibadah sholat. Perjalanan berlanjut dengan kata pengantar dari Pak Budi, beliau menceritakan kisah pribadinya dalam rangka pertemuannya dengan fosil manusia pawon. Benak pasti bertanya, apakah ia spesies yang berada dalam rangkaian evolusi manusia atau tidak. Jawabnya manusia pawon adalah homo sapiens spesies yang sama dengan pembaca artikel ini (hahaha). Kalimat terakhir telah terucap dan kami digiring oleh pak Budi dengan perintah menggenakan masker untuk proteksi terhadap bau kotoran kelelawar yang lebih menyengat dari bau masakan ibu. Tidak lama kami melakukan pendakian untuk mencapai lokasi penemuan fosil manusia Pawon. Selama pendakian sesekali burung walet melintas diatas kepala sambil berteriak (karena tidak tepat rasanya jika disebut berkicau atau bersiul). Jalur yang kami lalui tergolong mudah dilewati, namun jika tidak berhati – hati maka gua ini akan menjadi tricky dan benturan langit - langit gua yang rendah dengan kepala adalah balasannya, seperti apa yang saya alami. Setelah menyaksikan sendiri replika fosil manusia gua Pawon karena fosil aslinya telah disimpan oleh Balai Arkeologi Bandung, kemudian pak Budi melakukan kuis trivia dengan ganjaran buku berjudul ‘Merahnya Batu Merah’. Setelah kuis terjawab dan buku dibagikan kamipun berfoto bersama dan sesegera mungkin kembali ke bus untuk kembali ke kampus.

Pengalaman yang menyenangkan dan jelas menambah wawasan. Jika kejaran panitia dengan diadakannya geotrek ini adalah memperkenalkan keilmuaan geologi kepada masa kampus maka mereka berhasil. Jika kejarannya adalah menumbuhkan rasa kesadaran dan kecintaan masa kampus terhadap bumi dan sejarah dibaliknya, maka merekapun berhasil karena itulah yang saya rasakan. Terimakasih atas kearifan yang telah panitia tunjukkan selama berlangsungnya acara. Semoga acara seperti ini dapat lebih banyak melibatkan masa kampus. Sukses!!
  

Jumat, 31 Agustus 2012

Mengetahui KehendakNya dari CaraNya Sendiri



Di senja ini aku mendapat pelajaran. Aku tahu persis bahwa sutradara dari segala scenario kejadian yang ada di atas bumi ini ialah Tuhan. Dialah yang Maha Empunya. Dialah yang Maha Tahu dan Maha Bijak. Tuhan adalah sumber segala kebenaran. Kebenaran yang hakiki. Kebenaran yang tak dapat dipertanyakan apalagi didiskusikan. Kehidupan manusia pada dasarnya terkoridorkan atas kebenaran – kebenaran, namun kebenaran pun terkadang bias. Dia, si penulis scenario kehidupan, tidak akan merestui kelalaian manusia yang membiaskan kebenaran.
Dengan caranya, Ia membentuk cinta sempurna di antara sepasang suami – istri. Cinta yang tanpa pertanyaan. Cinta yang hanya ingin memberi dan sama sekali tidak menuntut balas. Hal yang membuka mata mereka terhadap kebenaran. Karena cintalah mereka mengalah. Mengalah terhadap ego diri masing – masing untuk sekedar menjadikan kekasih hati menjadi yang utama. Ia yang tanpa pertanyaan itu membentuk suatu hubungan yang tidak terelakkan meskipun kebenaran bias menancap di salah satunya.
Sehingga Tuhan yang adalah sumber kebenaran yang hakiki, meminjam cinta di antara sepasang kekasih itu untuk mengoreksi kelalaian manusia. Ia menggerakkan hati pasangan yang lainnya untuk tidak berhenti menjadikan ‘kebenaran’ menjadi benar dengan berbagai cara. Pengorbanan adalah bukti dari cinta yang sempurna. Mengesampingkan kepentingan bahkan keselamatan diri untuk memburu cintanya yang berada di balik jeruji. Ketika manusia melihat kebenaran yang hakiki itu dan bersedia untuk mengoreksinya meskipun hambatan di depan bak gunung es yang sanggup meruntuhkan Titanic, disanalah kata mustahil menjadi tanpa arti. Namun belum sampai di sana, Ia akan mengujimu, menguji ketahanan diri dan keteguhan hatimu. Kamu akan hampir menyerah, namun jika tepat di masa itu kau menolak maka yang ada di depanmu hanyalah mukjizat. Segala rencanamu menjadi rancanganNya dan segala ciptaanNya akan mendukungmu untuk menyelesaikannya hingga tuntas. Hingga kebenaran dibuktikan agar manusia belajar untuk tidak lagi berlaku lalai.
Itulah yang kudapat setelah menyaksikan The Next 3 Days.
Rabu, 29 Agustus 2012


Jumat, 17 Agustus 2012

Pendidikan dan Analoginya


begini teman teman, hal ini menarik untuk disimak karena tulisan ini saya buat karena buah dari pergulatan pikiran saya mengenai bagaimana seharusnya KONSEP pendidikan di negri ini. Benar adanya bahwa pendidikan harus diberikan dan didapatkan secara bertahap atau berjenjang dengan minat dan bakat yang tepat bagi peserta didik. 

Diceritakan pada mulanya adalah seorang anak berinteraksi dengan pendidikan yaitu rumah barunya yang ditinggali bersama pendidiknya yaitu kedua orangtuanya.

Di hari pertama anak ini menempati rumah barunya (setingkat SD) ia mulai mengobservasi dengan kemampuannya sendiri. Ia melihat bentuk dan warna tiap - tiap benda yang ada di rumah tersebut. Pandangannya terhadap pendidikan masih terlalu bias dan sama sekali tanpa arah. Pun, dia masih kesulitan membedakan benda satu dengan benda lainnya berikut dengan nama benda tersebut. Secara bertahap kedua orangtuanya mengenalkan dia nama-nama benda tersebut, menghitung jumlah benda yang ada di dalam rumah, dan mulai mengklasifikasikan benda berdasarkan letak ruangnya. Proses ini terus berlanjut setiap hari dan semakin banyak benda yang ia ketahui. 

Di tahapan selanjutnya (setingkat SMP) kedua orang tua mulai memberitahu fungsi dari tiap benda yang ada di dalam rumah tersebut, membimbingnya untuk mengoperasikan benda tersebut yang kemudian memicu rasa keingintahuan si anak karena ia merasa dilibatkan. Ayahnya mulai melihat suatu potensi dalam diri anaknya. Bagaimana dengan apiknya anaknya mulai menekan tuts piano, memainkan dvd player, mengayunkan raket badminton, dan sebagainya. Kegiatan ini berlangsung dan berulang namun dengan benda – benda yang berbeda tiap harinya hingga rasa ingin tahu anak ini makin memuncak, ia mulai bertanya latar belakang benda - benda di rumah tersebut, bagaimana cara membuatnya, dari apa benda tersebut dibentuk,dan sebagainya. Kedua orangtuanyapun dengan senang hati menceritakan sejarah dan kenangan yang dikandung dari tiap benda tersebut sehingga memiliki nilai historis tersendiri. Dalam ceritanya sang ayah menyiratkan kecintaannya kepada tiap benda di rumah yang kemudian memunculkan keinginan sang Ayah untuk merawat dan menjaga setiap benda yang ada di rumahnya. Si anak sungguh menyimak dengan seksama tiap kali ayahnya bercerita tentang sejarah benda - benda tersebut. Dari sini ia mulai mengenal budaya keluarganya karena ia telah mengetahui seluk beluk kedua orangtuanya melalui cerita si Ayah.Tak sengaja sesekali ia melihat ayah dengan telatennya menggunting dan menata tanaman di kebun dan secara tidak langsung ayahnya telah mencontohkan sekaligus menanamkan rasa kecintaan terhadap benda - benda di rumahnya itu sendiri ke dalam jiwa anaknya. Ya, ayahnya sudah menjadi teladan bagi dirinya.

Tahap berikutnya (SMA) si anak telah terbiasa menggunakan dan merawat benda – benda yang ada di rumah. Ia sudah bisa membedakan benda – benda bukan hanya berdasarkan warna atau bentuk tapi berdasarkan fungsi sehingga kelompok benda dengan fungsi yang melengkapi dapat ia kelompokkan menjadi ke dalam suatu ruangan yang spesifik. Ia tahu meletakkan gayung, ember, dan sikat ke dalam kamar mandi. Perhatiannya terhadap suatu ruangan mulai meningkat. Kepada ruang keluarga ia letakkan televisi, sofa dan karpet. Namun pengetahuannya masih terbatas terhadap suatu benda yang cukup kompleks seperti televisi. Ia hanya tahu bagian luar dari televisi namun tidak mengerti jelas ada apa di dalamnya sehingga televisi dapat menghasilkan gambar dan suara. Di penghujung tahap ini ia mulai memfokuskan perhatian hanya pada televisi saja.

Tahapan berlanjut (S1/Sarjana) ketika secara kebetulan televisi ruang keluarga rusak. Televisi dapat menyala namun gambar tidak muncul di layar dan suara yang keluarpun putus - putus. Ia bertekad untuk memperbaikinya. Tekad tersebut menghantarkan dia hingga berhasil membuka casing TV dan melihat isi di dalam TV. Ia memperhatikan tiap komponen yang ada. Membedakan warna, bentuk, letak, fungsi, mekanisme kerja,hubungan antar komponen dan sebagainya. Ia berharap dapat menyolusikan kerusakan ini dengan inovasinya sendiri namun hingga penghujung tahapan ini ia hanya mampu mengidentifikasi masalah dan penyebabnya.

Akar masalah telah ia temukan dan ia sedang berada di tahapan selanjutnya (S2/Magister) untuk menyolusikan dengan caranya sendiri. Ia mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk melakukan beberapa percobaan terhadap komponen TV yang bermasalah tersebut. Namun karena di tahapan sebelumnya ia telah dengan jelas mendapatkan penyebabnya dengan cakupan yang sekecil mungkin, maka solusi pun didapat dengan tempo yang tidak telalu lama. Ya, di penghujung tahapan ini ia akhirnya berhasil memperbaiki televisi idamannya dengan percobaan yang ia konsepkan dan lakukan sendiri.

Kemampuan si anak memperbaiki televisi menjadi berita di kalangan tetangga. Banyak tetangga yang meminta ia untuk memperbaiki televisinya yang rusak. Beberapa kali ia menyanggupi permintaan tersebut, namun ia merasa kewalahan dan berinisiatif untuk membagikan keahliannya dalam memperbaiki televisi kepada tetangga yang lain dengan harapan permintaan memperbaiki TV berkurang karena semakin banyak orang yang dapat memperbaiki TV. Kerendahan hati untuk berbagi keahlian ini membawa ia ke tahap pendidikan selanjutnya (S3/Doktor). Ia mulai mempersiapkan diri untuk memberikan kursus reparasi TV kepada tetangga-tetangganya. Mengobservasi ulang setiap komponen dalam maupun luar televisi, mengklasifikasikannya dengan jelas, memikirkan kembali masalah-masalah apa saja yang mungkin muncul pada komponen TV yang dapat mengakibatkan kerusakan, dan memberikan solusi dari tiap kemungkinan masalah yang dapat terjadi. Semua hal yang ia lakukan tadi tidak lupa ia catat yang kemudian ia jadikan buku panduan untuk memberikan pelajaran kursus reparasi TV kepada tetangganya.
Jadi, biaskah konsep pendidikan di negri ini? Ketika di bangku SD seorang anak sudah disuapi bahasa asing sehingga mengesampingkan nilai-nilai budaya leluhurnya? Ketika seseorang mengejar gelar doctor bukan karena desakan hati untuk mendidik namun jabatan dan kehormatan yang lebih tinggi di dunia praktisi?

17/08/1945 ~ 17/08/2012

67 Tahun Indonesia Merdeka ; banyak orang merayakan hari ini dengan berbagai cara, dengan caranya sendiri. Aku pun begitu. Tidak melulu (meskipun perlu) dirayakan dengan upacara pengibaran bendera merah putih. Aku merayakannya dengan sederhana. Di depan komputer lipat, jaringan internet, dan sebuah halaman bernama blog. Hari ini kujadikan hari untuk membentuk blog pertamaku. Alasannya sederhana, aku hanya mencari tanggal yang mudah diingat agar blog ku ini bisa menjadi memori tersendiri bagiku. Alasan kedua ya karena 17 Agustus hari dengan momentum yang paling dekat dengan keputusanku untuk akhirnya membuat blog. Semoga aku bisa konsisten dalam menulis. Menulis sesuatu yang dekat dengan keseharianku dan yang terpenting menulis sesuatu yang bernilai dari keseharianku.

Terimakasih para pejuang, sehingga kini aku dan generasiku bisa menikmati kemerdekaan yang dahulu kalian impikan. Terimakasih.