Merdeka
memiliki banyak arti jika kita sematkan ke berbagai golongan masyarakat, tidak
hanya di negara ini, tapi juga di seluruh dunia. Menjadi merdeka tidaklah
mudah. Sebelum mencapai kemerdekaan itu sendiri tentunya seseorang perlu atau
bahkan harus sadar mengapa dan untuk apa menjadi merdeka bagi dirinya.
Kesadaran itu pun tidak timbul bagaikan petir di siang bolong. Kesadaran itu
muncul dari pengamatannya terhadap kejadian – kejadian yang ia lalui setiap
hari. Perlu sepasang ‘mata’ untuk melihatnya dan sebuah ‘pikiran’ untuk
mencernanya. Kemudian kedua hal tersebut dapat diurai melalui pendidikan.
Karena bisa saja seseorang bahkan sekelompok orang yang hidup dari Sabang,
Banda Aceh hingga Merauke, Papua tidak sadar bahwa mereka sedang dijajah. Tanam
paksa di masa kolonial Belanda sudah seperti kegiatan yang lazim dan tak
seorang petanipun di kala itu yang merasa menjadi korban. Rakyat Indonesia
dikala itu telah dibutakan oleh nyanyian nina bobo para kompeni dengan persembahan berupa upah padahal jika rakyat waktu itu
dapat menghitung hasil tanahnya, hanyalah rugi yang mereka rasakan.
Ketika
Belanda dan Jepang telah melepaskan jeratan penjajahan dari tanah nusantara ini
pun, masih banyak rakyat Indonesia yang tidak mengerti apa arti merdeka yang
hakiki. Merdeka bagi mereka hanya sekedar lepas dari penjajahan Belanda mapun
Jepang, diluar itu pastilah mereka merasa merdeka. Ada sesuatu kealpaan dalam
diri mereka. Kealpaan dalam jiwa maupun pikiran. Mereka dapat melihat dengan
kasat mata tentang segala bentuk kecurangan yang terjadi, tetapi jiwa dan
pikirannya tidak dapat memproses hal tersebut dengan baik sehingga yang ia
lihat hanyalah sebuah kewajaran.
Pendidikanlah
yang tidak hadir di dalam konteks kemerdekaan semu. Seseorang membutuhkan
pendidikan untuk mengerti apa itu merdeka, untuk apa merdeka, bagaimana cara
untuk merdeka hingga menjalankan terus kemerdekaan itu sendiri. Pendidikan yang
saya maksud disini lebih dari sebuah alat. Jika dianalogikan maka pendidikan
itu bukanlah sebuah bambu runcing yang para pejuang kita tancapkan ke perut
prajurit Belanda, bukan juga sebuah mesin tik yang digunakan Bung Sayuti Melik
untuk menuliskan naskah proklamasi. Pendidikan berada melebihi hal – hal
tersebut. Pendidikan sekali lagi bukan hanya sekedar tool. Mengapa demikian? Karena sebuah alat bisa saja digunakan
untuk keperluan yang bukan seharusnya ia digunakan. Berbeda dengan pendidikan
yang hakiki. Ia lahir dari sebuah keinginan, sebuah cita – cita. Ia berdiri di
atas norma – norma kehidupan. Ia berjalan bergandengan dengan kejujuran dan
idealisme tinggi. Ia bersuara untuk menyelesaikan masalah.
Saya
di sini membicarakan tentang keidealan pendidikan. Keidealan yang dahulu
dibicarakan bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan
haruslah menyeimbangkan ketiga unsur yang terdapat di dalam manusia yaitu
jasmani, rohani, dan jiwa agar tercipta manusia seutuhnya. Ketiga hal inilah
yang menjadi dasar untuk mendesain pola atau bahkan kurikulum pendidikan.
Ketiga unsur tersebut dalam rangka mencapai hasil didikan yang ideal haruslah
berimbang dalam proses pertumbuhkembangannya. Manusia yang telah sadar jiwanya
pastilah akan berdiri teguh dalam kebenaran – kebenaran ilmiah yang dapat
dibuktikan, oleh karena itu pendidikan akademik tentulah penting. Pembekalan
individu di bidang keterampilan dapat sekaligus mengolah aspek raganya, memicu
untuk bergerak sekaligus bertindak untuk meminimalisir gerakan ‘NATO’ (No Action Talk Only) yang sedang marak
menjangkit khususnya kaum muda. Kematangan pengolahan jiwa dan raga yang baik
dan seimbang pun belum bisa menjadikan seseorang berkepribadian yang luhur dan
mulia tanpa pendidikan rohani yang berkesinambungan, maka jangan heran korupsi
merajalela dari tingkatan tertinggi (pejabat negara yang menyelewengkan uang
negara) hingga tingkatan terendah (siswa yang membolos dan menyontek) semata –
mata terjadi karena pendidikan rohani kini tidak lagi menyentuh jiwa seseorang
namun logikanya lah yang distimulus. Siswa muslim dituntut dapat membaca dan
menghapal ayat Al-Quran dalam bahasa Arab, namun nanti dulu untuk mengetahui dan
memahami isinya. Siswa yang Nasrani dinilai kerohaniannya dengan soal – soal
seputar pengetahuan Alkitab yang kini bisa diunduh dalam telepon selular yang
malah memicu bentuk – bentuk kecurangan.
Sesungguhnya
saat ini ada pergeseran makna dari kata ‘pendidikan’. Ketika tuntutan dunia
terhadap tiap individu yang hidup di atasanya semakin tinggi, maka diperlukan
kemampuan – kemampuan yang dapat dinilai secara eksak atau keterampilan –
keterampilan yang dapat menghasilkan uang. Kasarnya, pendidikan hari ini
dijadikan hanya sebatas komoditi industri yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan
sumberdaya manusianya. Tuntutan tersebut kemudian diimplementasikan oleh
manusia modern dengan membekali anaknya yang masih duduk di bangku sekolah
dasar dengan pelbagai les atau kursus. Sepulang sekolah si anak harus mengikuti
les piano atau biola, hari berikutnya bergiliran les bahasa Inggris, bahasa
Mandarin, dan bahasa Jerman. Namun bagaimana dengan nasib kaum papa ? Mereka
tanpa akses terlebih – lebih untuk mencapai perihal kursus setelah jam sekolah,
bahkan untuk pendidikan formal yang katanya gratis itu saja tidak. Program
wajib belajar sembilan tahun sudah dijamin cuma – cuma oleh sekolah – sekolah
negeri, namun himpitan ekonomi seakan mewajarkan orangtua untuk membiarkan
anaknya bekerja mencari uang dibanding pergi ke sekolah. Ingatlah kembali
kalimat yang tertera pada pembukaan UUD’45 tentang penjaminan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana pengimplementasiannya kini?
Jika kita cermati lebih dalam lagi bahwa kebijakan neo-liberalisme sedang
bertumbuh dan kian menancapkan cengkramannya dalam berbagai aspek kehidupan
bangsa Indonesia. Terjadi privatisasi di berbagai bidang (bahkan di bidang
strategis) hingga puncaknya adalah pengesahan RUU Perguruan Tinggi. Di dalamnya
dengan gamblang menjelaskan otonomisasi keuangan perguruan tinggi dan
diizinkannya perguruan tinggi asing membuka cabangnya di Indonesia. Tanpa visi
pendidikan yang jelas maka pastilah kedua hal tersebut akan meruntuhkan cita –
cita luhur para pendiri bangsa kita untuk mencapai kesejahteraan umum karena
tentu saja yang akan menang adalah si kaum borjuis, sedangkan si marhaen
dibiarkan tak dapat bersaing dan dijadikan buruh dengan upah rendah.
Capaian
akhir dari proses pendidikan adalah menjadi dewasa sepenuhnya. Karena ketika
seorang individu secara sadar telah mengalami pendidikan dan menjalani proses
pendidikan yang ideal maka suatu saat ia akan mencapai kedewasaan yang
mendorong dirinya untuk mendidik dirinya sendiri. Tahapan berikutnya adalah
kesadaran, keinginan, atau dorongan dari dalam diri sendiri untuk mengubah
kehidupan orang lain kearah yang lebih baik. Karakter inilah yang menjadi titik
awal keberangkatan pendidikan berkarakter kebangsaan. Sehingga dapat
terjawablah konsep pendidikan pancasilais untuk membentuk manusia susila yang
cakap serta warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab tentang
kesejahteraan rakyat tanah air.
Proses
mendidik yang ideal bukanlah semata – mata berupa kegiatan belajar mengajar dan
melulu perkara latihan soal – soal ujian. Bukan juga sekedar kegiatan
menggambar pemandangan alam dengan teknik mewarnai yang benar. Lebih dari itu,
seorang peserta didik memerlukan sosok panutan sebagai tempat acuannya dalam
menatap masa depannya. Ibarat perbihasa ‘guru kencing berdiri, murid kencing
berlari’ mengungkapkan bagaimana sosok seorang guru (pendidik) adalah salah
satu faktor yang tidak bisa dilupakan dalam pendidikan karakter. Percuma saja seorang
guru berbicara tentang saling menghormati dan menghargai dalam mata pelajaran
PPKN namun ia ikut terlibat dalam kasus pembenaran soal UN. Terlepas dari peran
sentral seorang guru dalam proses belajar mengajar di sekolah, tentulah
tanggungjawab dalam memerankan karakter si teladan ini tidak boleh hanya kita
sematkan kepada guru saja. Orangtua, pemimpin agama, dan petinggi negara
haruslah mau menjaga citra dan integritasnya dengan pola pikir memberikan
contoh sekaligus pengaruh positif bagi para penerus generasi bangsa.
Sehingga
pada akhirnya segala hal yang berakar kepada moral, jiwa nasionalisme dan
tantangan era globalisasi dapat bermuara ke dalam suatu konteks pribadi
terdidik yang cinta tanah air. Proses penempaan pribadi tersebut pun kembali
lagi kepada konsep dasar penyelengaraan negara yang bertujuan memberikan
kesejahteraan umum dengan konteks umum secara harafiah. Bukan maknanya
dipelintir sehingga umum tidak lagi berarti seluruh warga negara Indonesia.
Pendidikan yang merupakan hal terfundamental dalam membangun bangsa harus
dikembalikan kepada jalurnya lagi. Para pejabat negara ini harus merenungkan
kembali tujuan pendidikan bagi Indonesia sehingga tidak tercipta lagi sistem
yang mengdiskreditkan mereka yang kurang beruntung atau menjadikan pendidikan suatu
alat untuk mencetak kuli – kuli perindustrian hanya demi menjawab tantangan
globalisasi namun karakter kebangsaannya dinomorsekiankan. Agar pada akhirnya
negara kembali berpihak kepada rakyatnya bukan malah menjadi sang ‘leviathan’
yang angkuh dan acuh untuk melihat rakyat Indonesia merdeka untuk kedua
kalinya.
Rabu, 3 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar