Kamis, 29 November 2012

Pendidikan yang Memerdekakan


Merdeka memiliki banyak arti jika kita sematkan ke berbagai golongan masyarakat, tidak hanya di negara ini, tapi juga di seluruh dunia. Menjadi merdeka tidaklah mudah. Sebelum mencapai kemerdekaan itu sendiri tentunya seseorang perlu atau bahkan harus sadar mengapa dan untuk apa menjadi merdeka bagi dirinya. Kesadaran itu pun tidak timbul bagaikan petir di siang bolong. Kesadaran itu muncul dari pengamatannya terhadap kejadian – kejadian yang ia lalui setiap hari. Perlu sepasang ‘mata’ untuk melihatnya dan sebuah ‘pikiran’ untuk mencernanya. Kemudian kedua hal tersebut dapat diurai melalui pendidikan. Karena bisa saja seseorang bahkan sekelompok orang yang hidup dari Sabang, Banda Aceh hingga Merauke, Papua tidak sadar bahwa mereka sedang dijajah. Tanam paksa di masa kolonial Belanda sudah seperti kegiatan yang lazim dan tak seorang petanipun di kala itu yang merasa menjadi korban. Rakyat Indonesia dikala itu telah dibutakan oleh nyanyian nina bobo para kompeni dengan persembahan berupa upah padahal jika rakyat waktu itu dapat menghitung hasil tanahnya, hanyalah rugi yang mereka rasakan.
Ketika Belanda dan Jepang telah melepaskan jeratan penjajahan dari tanah nusantara ini pun, masih banyak rakyat Indonesia yang tidak mengerti apa arti merdeka yang hakiki. Merdeka bagi mereka hanya sekedar lepas dari penjajahan Belanda mapun Jepang, diluar itu pastilah mereka merasa merdeka. Ada sesuatu kealpaan dalam diri mereka. Kealpaan dalam jiwa maupun pikiran. Mereka dapat melihat dengan kasat mata tentang segala bentuk kecurangan yang terjadi, tetapi jiwa dan pikirannya tidak dapat memproses hal tersebut dengan baik sehingga yang ia lihat hanyalah sebuah kewajaran.
Pendidikanlah yang tidak hadir di dalam konteks kemerdekaan semu. Seseorang membutuhkan pendidikan untuk mengerti apa itu merdeka, untuk apa merdeka, bagaimana cara untuk merdeka hingga menjalankan terus kemerdekaan itu sendiri. Pendidikan yang saya maksud disini lebih dari sebuah alat. Jika dianalogikan maka pendidikan itu bukanlah sebuah bambu runcing yang para pejuang kita tancapkan ke perut prajurit Belanda, bukan juga sebuah mesin tik yang digunakan Bung Sayuti Melik untuk menuliskan naskah proklamasi. Pendidikan berada melebihi hal – hal tersebut. Pendidikan sekali lagi bukan hanya sekedar tool. Mengapa demikian? Karena sebuah alat bisa saja digunakan untuk keperluan yang bukan seharusnya ia digunakan. Berbeda dengan pendidikan yang hakiki. Ia lahir dari sebuah keinginan, sebuah cita – cita. Ia berdiri di atas norma – norma kehidupan. Ia berjalan bergandengan dengan kejujuran dan idealisme tinggi. Ia bersuara untuk menyelesaikan masalah.
Saya di sini membicarakan tentang keidealan pendidikan. Keidealan yang dahulu dibicarakan bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan haruslah menyeimbangkan ketiga unsur yang terdapat di dalam manusia yaitu jasmani, rohani, dan jiwa agar tercipta manusia seutuhnya. Ketiga hal inilah yang menjadi dasar untuk mendesain pola atau bahkan kurikulum pendidikan. Ketiga unsur tersebut dalam rangka mencapai hasil didikan yang ideal haruslah berimbang dalam proses pertumbuhkembangannya. Manusia yang telah sadar jiwanya pastilah akan berdiri teguh dalam kebenaran – kebenaran ilmiah yang dapat dibuktikan, oleh karena itu pendidikan akademik tentulah penting. Pembekalan individu di bidang keterampilan dapat sekaligus mengolah aspek raganya, memicu untuk bergerak sekaligus bertindak untuk meminimalisir gerakan ‘NATO’ (No Action Talk Only) yang sedang marak menjangkit khususnya kaum muda. Kematangan pengolahan jiwa dan raga yang baik dan seimbang pun belum bisa menjadikan seseorang berkepribadian yang luhur dan mulia tanpa pendidikan rohani yang berkesinambungan, maka jangan heran korupsi merajalela dari tingkatan tertinggi (pejabat negara yang menyelewengkan uang negara) hingga tingkatan terendah (siswa yang membolos dan menyontek) semata – mata terjadi karena pendidikan rohani kini tidak lagi menyentuh jiwa seseorang namun logikanya lah yang distimulus. Siswa muslim dituntut dapat membaca dan menghapal ayat Al-Quran dalam bahasa Arab, namun nanti dulu untuk mengetahui dan memahami isinya. Siswa yang Nasrani dinilai kerohaniannya dengan soal – soal seputar pengetahuan Alkitab yang kini bisa diunduh dalam telepon selular yang malah memicu bentuk – bentuk kecurangan.
Sesungguhnya saat ini ada pergeseran makna dari kata ‘pendidikan’. Ketika tuntutan dunia terhadap tiap individu yang hidup di atasanya semakin tinggi, maka diperlukan kemampuan – kemampuan yang dapat dinilai secara eksak atau keterampilan – keterampilan yang dapat menghasilkan uang. Kasarnya, pendidikan hari ini dijadikan hanya sebatas komoditi industri yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusianya. Tuntutan tersebut kemudian diimplementasikan oleh manusia modern dengan membekali anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dengan pelbagai les atau kursus. Sepulang sekolah si anak harus mengikuti les piano atau biola, hari berikutnya bergiliran les bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan bahasa Jerman. Namun bagaimana dengan nasib kaum papa ? Mereka tanpa akses terlebih – lebih untuk mencapai perihal kursus setelah jam sekolah, bahkan untuk pendidikan formal yang katanya gratis itu saja tidak. Program wajib belajar sembilan tahun sudah dijamin cuma – cuma oleh sekolah – sekolah negeri, namun himpitan ekonomi seakan mewajarkan orangtua untuk membiarkan anaknya bekerja mencari uang dibanding pergi ke sekolah. Ingatlah kembali kalimat yang tertera pada pembukaan UUD’45 tentang penjaminan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana pengimplementasiannya kini? Jika kita cermati lebih dalam lagi bahwa kebijakan neo-liberalisme sedang bertumbuh dan kian menancapkan cengkramannya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Terjadi privatisasi di berbagai bidang (bahkan di bidang strategis) hingga puncaknya adalah pengesahan RUU Perguruan Tinggi. Di dalamnya dengan gamblang menjelaskan otonomisasi keuangan perguruan tinggi dan diizinkannya perguruan tinggi asing membuka cabangnya di Indonesia. Tanpa visi pendidikan yang jelas maka pastilah kedua hal tersebut akan meruntuhkan cita – cita luhur para pendiri bangsa kita untuk mencapai kesejahteraan umum karena tentu saja yang akan menang adalah si kaum borjuis, sedangkan si marhaen dibiarkan tak dapat bersaing dan dijadikan buruh dengan upah rendah.  
Capaian akhir dari proses pendidikan adalah menjadi dewasa sepenuhnya. Karena ketika seorang individu secara sadar telah mengalami pendidikan dan menjalani proses pendidikan yang ideal maka suatu saat ia akan mencapai kedewasaan yang mendorong dirinya untuk mendidik dirinya sendiri. Tahapan berikutnya adalah kesadaran, keinginan, atau dorongan dari dalam diri sendiri untuk mengubah kehidupan orang lain kearah yang lebih baik. Karakter inilah yang menjadi titik awal keberangkatan pendidikan berkarakter kebangsaan. Sehingga dapat terjawablah konsep pendidikan pancasilais untuk membentuk manusia susila yang cakap serta warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab tentang kesejahteraan rakyat tanah air.
Proses mendidik yang ideal bukanlah semata – mata berupa kegiatan belajar mengajar dan melulu perkara latihan soal – soal ujian. Bukan juga sekedar kegiatan menggambar pemandangan alam dengan teknik mewarnai yang benar. Lebih dari itu, seorang peserta didik memerlukan sosok panutan sebagai tempat acuannya dalam menatap masa depannya. Ibarat perbihasa ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’ mengungkapkan bagaimana sosok seorang guru (pendidik) adalah salah satu faktor yang tidak bisa dilupakan dalam pendidikan karakter. Percuma saja seorang guru berbicara tentang saling menghormati dan menghargai dalam mata pelajaran PPKN namun ia ikut terlibat dalam kasus pembenaran soal UN. Terlepas dari peran sentral seorang guru dalam proses belajar mengajar di sekolah, tentulah tanggungjawab dalam memerankan karakter si teladan ini tidak boleh hanya kita sematkan kepada guru saja. Orangtua, pemimpin agama, dan petinggi negara haruslah mau menjaga citra dan integritasnya dengan pola pikir memberikan contoh sekaligus pengaruh positif bagi para penerus generasi bangsa.
Sehingga pada akhirnya segala hal yang berakar kepada moral, jiwa nasionalisme dan tantangan era globalisasi dapat bermuara ke dalam suatu konteks pribadi terdidik yang cinta tanah air. Proses penempaan pribadi tersebut pun kembali lagi kepada konsep dasar penyelengaraan negara yang bertujuan memberikan kesejahteraan umum dengan konteks umum secara harafiah. Bukan maknanya dipelintir sehingga umum tidak lagi berarti seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan yang merupakan hal terfundamental dalam membangun bangsa harus dikembalikan kepada jalurnya lagi. Para pejabat negara ini harus merenungkan kembali tujuan pendidikan bagi Indonesia sehingga tidak tercipta lagi sistem yang mengdiskreditkan mereka yang kurang beruntung atau menjadikan pendidikan suatu alat untuk mencetak kuli – kuli perindustrian hanya demi menjawab tantangan globalisasi namun karakter kebangsaannya dinomorsekiankan. Agar pada akhirnya negara kembali berpihak kepada rakyatnya bukan malah menjadi sang ‘leviathan’ yang angkuh dan acuh untuk melihat rakyat Indonesia merdeka untuk kedua kalinya. 

Rabu, 3 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar