begini teman teman, hal ini
menarik untuk disimak karena tulisan ini saya buat karena buah dari pergulatan
pikiran saya mengenai bagaimana seharusnya KONSEP pendidikan di negri ini. Benar
adanya bahwa pendidikan harus diberikan dan didapatkan secara bertahap atau
berjenjang dengan minat dan bakat yang tepat bagi peserta didik.
Diceritakan pada mulanya adalah seorang
anak berinteraksi dengan pendidikan yaitu rumah barunya yang ditinggali bersama
pendidiknya yaitu kedua orangtuanya.
Di hari pertama anak ini
menempati rumah barunya (setingkat SD) ia mulai mengobservasi dengan
kemampuannya sendiri. Ia melihat bentuk dan warna tiap - tiap benda yang ada di
rumah tersebut. Pandangannya terhadap pendidikan masih terlalu bias dan sama
sekali tanpa arah. Pun, dia masih kesulitan membedakan benda satu dengan benda
lainnya berikut dengan nama benda tersebut. Secara bertahap kedua orangtuanya
mengenalkan dia nama-nama benda tersebut, menghitung jumlah benda yang ada di
dalam rumah, dan mulai mengklasifikasikan benda berdasarkan letak ruangnya.
Proses ini terus berlanjut setiap hari dan semakin banyak benda yang ia
ketahui.
Di tahapan selanjutnya (setingkat
SMP) kedua orang tua mulai memberitahu fungsi dari tiap benda yang ada di dalam
rumah tersebut, membimbingnya untuk mengoperasikan benda tersebut yang kemudian
memicu rasa keingintahuan si anak karena ia merasa dilibatkan. Ayahnya mulai
melihat suatu potensi dalam diri anaknya. Bagaimana dengan apiknya anaknya
mulai menekan tuts piano, memainkan dvd player, mengayunkan raket badminton,
dan sebagainya. Kegiatan ini berlangsung dan berulang namun dengan benda –
benda yang berbeda tiap harinya hingga rasa ingin tahu anak ini makin memuncak,
ia mulai bertanya latar belakang benda - benda di rumah tersebut, bagaimana
cara membuatnya, dari apa benda tersebut dibentuk,dan sebagainya. Kedua
orangtuanyapun dengan senang hati menceritakan sejarah dan kenangan yang
dikandung dari tiap benda tersebut sehingga memiliki nilai historis tersendiri.
Dalam ceritanya sang ayah menyiratkan kecintaannya kepada tiap benda di rumah
yang kemudian memunculkan keinginan sang Ayah untuk merawat dan menjaga setiap
benda yang ada di rumahnya. Si anak sungguh menyimak dengan seksama tiap kali
ayahnya bercerita tentang sejarah benda - benda tersebut. Dari sini ia mulai
mengenal budaya keluarganya karena ia telah mengetahui seluk beluk kedua
orangtuanya melalui cerita si Ayah.Tak sengaja sesekali ia melihat ayah dengan
telatennya menggunting dan menata tanaman di kebun dan secara tidak langsung
ayahnya telah mencontohkan sekaligus menanamkan rasa kecintaan terhadap benda -
benda di rumahnya itu sendiri ke dalam jiwa anaknya. Ya, ayahnya sudah menjadi
teladan bagi dirinya.
Tahap berikutnya (SMA) si anak
telah terbiasa menggunakan dan merawat benda – benda yang ada di rumah. Ia
sudah bisa membedakan benda – benda bukan hanya berdasarkan warna atau bentuk
tapi berdasarkan fungsi sehingga kelompok benda dengan fungsi yang melengkapi
dapat ia kelompokkan menjadi ke dalam suatu ruangan yang spesifik. Ia tahu
meletakkan gayung, ember, dan sikat ke dalam kamar mandi. Perhatiannya terhadap
suatu ruangan mulai meningkat. Kepada ruang keluarga ia letakkan televisi, sofa
dan karpet. Namun pengetahuannya masih terbatas terhadap suatu benda yang cukup
kompleks seperti televisi. Ia hanya tahu bagian luar dari televisi namun tidak
mengerti jelas ada apa di dalamnya sehingga televisi dapat menghasilkan gambar
dan suara. Di penghujung tahap ini ia mulai memfokuskan perhatian hanya pada
televisi saja.
Tahapan berlanjut (S1/Sarjana) ketika
secara kebetulan televisi ruang keluarga rusak. Televisi dapat menyala namun
gambar tidak muncul di layar dan suara yang keluarpun putus - putus. Ia
bertekad untuk memperbaikinya. Tekad tersebut menghantarkan dia hingga berhasil
membuka casing TV dan melihat isi di dalam TV. Ia memperhatikan tiap komponen
yang ada. Membedakan warna, bentuk, letak, fungsi, mekanisme kerja,hubungan
antar komponen dan sebagainya. Ia berharap dapat menyolusikan kerusakan ini
dengan inovasinya sendiri namun hingga penghujung tahapan ini ia hanya mampu
mengidentifikasi masalah dan penyebabnya.
Akar masalah telah ia temukan dan
ia sedang berada di tahapan selanjutnya (S2/Magister) untuk menyolusikan dengan
caranya sendiri. Ia mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk melakukan beberapa
percobaan terhadap komponen TV yang bermasalah tersebut. Namun karena di
tahapan sebelumnya ia telah dengan jelas mendapatkan penyebabnya dengan cakupan
yang sekecil mungkin, maka solusi pun didapat dengan tempo yang tidak telalu
lama. Ya, di penghujung tahapan ini ia akhirnya berhasil memperbaiki televisi
idamannya dengan percobaan yang ia konsepkan dan lakukan sendiri.
Kemampuan si anak memperbaiki
televisi menjadi berita di kalangan tetangga. Banyak tetangga yang meminta ia
untuk memperbaiki televisinya yang rusak. Beberapa kali ia menyanggupi
permintaan tersebut, namun ia merasa kewalahan dan berinisiatif untuk
membagikan keahliannya dalam memperbaiki televisi kepada tetangga yang lain
dengan harapan permintaan memperbaiki TV berkurang karena semakin banyak orang
yang dapat memperbaiki TV. Kerendahan hati untuk berbagi keahlian ini membawa
ia ke tahap pendidikan selanjutnya (S3/Doktor). Ia mulai mempersiapkan diri
untuk memberikan kursus reparasi TV kepada tetangga-tetangganya. Mengobservasi
ulang setiap komponen dalam maupun luar televisi, mengklasifikasikannya dengan
jelas, memikirkan kembali masalah-masalah apa saja yang mungkin muncul pada
komponen TV yang dapat mengakibatkan kerusakan, dan memberikan solusi dari tiap
kemungkinan masalah yang dapat terjadi. Semua hal yang ia lakukan tadi tidak
lupa ia catat yang kemudian ia jadikan buku panduan untuk memberikan pelajaran
kursus reparasi TV kepada tetangganya.
Jadi, biaskah konsep pendidikan
di negri ini? Ketika di bangku SD seorang anak sudah disuapi bahasa asing
sehingga mengesampingkan nilai-nilai budaya leluhurnya? Ketika seseorang mengejar
gelar doctor bukan karena desakan hati untuk mendidik namun jabatan dan
kehormatan yang lebih tinggi di dunia praktisi?