Jumat, 31 Agustus 2012

Mengetahui KehendakNya dari CaraNya Sendiri



Di senja ini aku mendapat pelajaran. Aku tahu persis bahwa sutradara dari segala scenario kejadian yang ada di atas bumi ini ialah Tuhan. Dialah yang Maha Empunya. Dialah yang Maha Tahu dan Maha Bijak. Tuhan adalah sumber segala kebenaran. Kebenaran yang hakiki. Kebenaran yang tak dapat dipertanyakan apalagi didiskusikan. Kehidupan manusia pada dasarnya terkoridorkan atas kebenaran – kebenaran, namun kebenaran pun terkadang bias. Dia, si penulis scenario kehidupan, tidak akan merestui kelalaian manusia yang membiaskan kebenaran.
Dengan caranya, Ia membentuk cinta sempurna di antara sepasang suami – istri. Cinta yang tanpa pertanyaan. Cinta yang hanya ingin memberi dan sama sekali tidak menuntut balas. Hal yang membuka mata mereka terhadap kebenaran. Karena cintalah mereka mengalah. Mengalah terhadap ego diri masing – masing untuk sekedar menjadikan kekasih hati menjadi yang utama. Ia yang tanpa pertanyaan itu membentuk suatu hubungan yang tidak terelakkan meskipun kebenaran bias menancap di salah satunya.
Sehingga Tuhan yang adalah sumber kebenaran yang hakiki, meminjam cinta di antara sepasang kekasih itu untuk mengoreksi kelalaian manusia. Ia menggerakkan hati pasangan yang lainnya untuk tidak berhenti menjadikan ‘kebenaran’ menjadi benar dengan berbagai cara. Pengorbanan adalah bukti dari cinta yang sempurna. Mengesampingkan kepentingan bahkan keselamatan diri untuk memburu cintanya yang berada di balik jeruji. Ketika manusia melihat kebenaran yang hakiki itu dan bersedia untuk mengoreksinya meskipun hambatan di depan bak gunung es yang sanggup meruntuhkan Titanic, disanalah kata mustahil menjadi tanpa arti. Namun belum sampai di sana, Ia akan mengujimu, menguji ketahanan diri dan keteguhan hatimu. Kamu akan hampir menyerah, namun jika tepat di masa itu kau menolak maka yang ada di depanmu hanyalah mukjizat. Segala rencanamu menjadi rancanganNya dan segala ciptaanNya akan mendukungmu untuk menyelesaikannya hingga tuntas. Hingga kebenaran dibuktikan agar manusia belajar untuk tidak lagi berlaku lalai.
Itulah yang kudapat setelah menyaksikan The Next 3 Days.
Rabu, 29 Agustus 2012


Jumat, 17 Agustus 2012

Pendidikan dan Analoginya


begini teman teman, hal ini menarik untuk disimak karena tulisan ini saya buat karena buah dari pergulatan pikiran saya mengenai bagaimana seharusnya KONSEP pendidikan di negri ini. Benar adanya bahwa pendidikan harus diberikan dan didapatkan secara bertahap atau berjenjang dengan minat dan bakat yang tepat bagi peserta didik. 

Diceritakan pada mulanya adalah seorang anak berinteraksi dengan pendidikan yaitu rumah barunya yang ditinggali bersama pendidiknya yaitu kedua orangtuanya.

Di hari pertama anak ini menempati rumah barunya (setingkat SD) ia mulai mengobservasi dengan kemampuannya sendiri. Ia melihat bentuk dan warna tiap - tiap benda yang ada di rumah tersebut. Pandangannya terhadap pendidikan masih terlalu bias dan sama sekali tanpa arah. Pun, dia masih kesulitan membedakan benda satu dengan benda lainnya berikut dengan nama benda tersebut. Secara bertahap kedua orangtuanya mengenalkan dia nama-nama benda tersebut, menghitung jumlah benda yang ada di dalam rumah, dan mulai mengklasifikasikan benda berdasarkan letak ruangnya. Proses ini terus berlanjut setiap hari dan semakin banyak benda yang ia ketahui. 

Di tahapan selanjutnya (setingkat SMP) kedua orang tua mulai memberitahu fungsi dari tiap benda yang ada di dalam rumah tersebut, membimbingnya untuk mengoperasikan benda tersebut yang kemudian memicu rasa keingintahuan si anak karena ia merasa dilibatkan. Ayahnya mulai melihat suatu potensi dalam diri anaknya. Bagaimana dengan apiknya anaknya mulai menekan tuts piano, memainkan dvd player, mengayunkan raket badminton, dan sebagainya. Kegiatan ini berlangsung dan berulang namun dengan benda – benda yang berbeda tiap harinya hingga rasa ingin tahu anak ini makin memuncak, ia mulai bertanya latar belakang benda - benda di rumah tersebut, bagaimana cara membuatnya, dari apa benda tersebut dibentuk,dan sebagainya. Kedua orangtuanyapun dengan senang hati menceritakan sejarah dan kenangan yang dikandung dari tiap benda tersebut sehingga memiliki nilai historis tersendiri. Dalam ceritanya sang ayah menyiratkan kecintaannya kepada tiap benda di rumah yang kemudian memunculkan keinginan sang Ayah untuk merawat dan menjaga setiap benda yang ada di rumahnya. Si anak sungguh menyimak dengan seksama tiap kali ayahnya bercerita tentang sejarah benda - benda tersebut. Dari sini ia mulai mengenal budaya keluarganya karena ia telah mengetahui seluk beluk kedua orangtuanya melalui cerita si Ayah.Tak sengaja sesekali ia melihat ayah dengan telatennya menggunting dan menata tanaman di kebun dan secara tidak langsung ayahnya telah mencontohkan sekaligus menanamkan rasa kecintaan terhadap benda - benda di rumahnya itu sendiri ke dalam jiwa anaknya. Ya, ayahnya sudah menjadi teladan bagi dirinya.

Tahap berikutnya (SMA) si anak telah terbiasa menggunakan dan merawat benda – benda yang ada di rumah. Ia sudah bisa membedakan benda – benda bukan hanya berdasarkan warna atau bentuk tapi berdasarkan fungsi sehingga kelompok benda dengan fungsi yang melengkapi dapat ia kelompokkan menjadi ke dalam suatu ruangan yang spesifik. Ia tahu meletakkan gayung, ember, dan sikat ke dalam kamar mandi. Perhatiannya terhadap suatu ruangan mulai meningkat. Kepada ruang keluarga ia letakkan televisi, sofa dan karpet. Namun pengetahuannya masih terbatas terhadap suatu benda yang cukup kompleks seperti televisi. Ia hanya tahu bagian luar dari televisi namun tidak mengerti jelas ada apa di dalamnya sehingga televisi dapat menghasilkan gambar dan suara. Di penghujung tahap ini ia mulai memfokuskan perhatian hanya pada televisi saja.

Tahapan berlanjut (S1/Sarjana) ketika secara kebetulan televisi ruang keluarga rusak. Televisi dapat menyala namun gambar tidak muncul di layar dan suara yang keluarpun putus - putus. Ia bertekad untuk memperbaikinya. Tekad tersebut menghantarkan dia hingga berhasil membuka casing TV dan melihat isi di dalam TV. Ia memperhatikan tiap komponen yang ada. Membedakan warna, bentuk, letak, fungsi, mekanisme kerja,hubungan antar komponen dan sebagainya. Ia berharap dapat menyolusikan kerusakan ini dengan inovasinya sendiri namun hingga penghujung tahapan ini ia hanya mampu mengidentifikasi masalah dan penyebabnya.

Akar masalah telah ia temukan dan ia sedang berada di tahapan selanjutnya (S2/Magister) untuk menyolusikan dengan caranya sendiri. Ia mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk melakukan beberapa percobaan terhadap komponen TV yang bermasalah tersebut. Namun karena di tahapan sebelumnya ia telah dengan jelas mendapatkan penyebabnya dengan cakupan yang sekecil mungkin, maka solusi pun didapat dengan tempo yang tidak telalu lama. Ya, di penghujung tahapan ini ia akhirnya berhasil memperbaiki televisi idamannya dengan percobaan yang ia konsepkan dan lakukan sendiri.

Kemampuan si anak memperbaiki televisi menjadi berita di kalangan tetangga. Banyak tetangga yang meminta ia untuk memperbaiki televisinya yang rusak. Beberapa kali ia menyanggupi permintaan tersebut, namun ia merasa kewalahan dan berinisiatif untuk membagikan keahliannya dalam memperbaiki televisi kepada tetangga yang lain dengan harapan permintaan memperbaiki TV berkurang karena semakin banyak orang yang dapat memperbaiki TV. Kerendahan hati untuk berbagi keahlian ini membawa ia ke tahap pendidikan selanjutnya (S3/Doktor). Ia mulai mempersiapkan diri untuk memberikan kursus reparasi TV kepada tetangga-tetangganya. Mengobservasi ulang setiap komponen dalam maupun luar televisi, mengklasifikasikannya dengan jelas, memikirkan kembali masalah-masalah apa saja yang mungkin muncul pada komponen TV yang dapat mengakibatkan kerusakan, dan memberikan solusi dari tiap kemungkinan masalah yang dapat terjadi. Semua hal yang ia lakukan tadi tidak lupa ia catat yang kemudian ia jadikan buku panduan untuk memberikan pelajaran kursus reparasi TV kepada tetangganya.
Jadi, biaskah konsep pendidikan di negri ini? Ketika di bangku SD seorang anak sudah disuapi bahasa asing sehingga mengesampingkan nilai-nilai budaya leluhurnya? Ketika seseorang mengejar gelar doctor bukan karena desakan hati untuk mendidik namun jabatan dan kehormatan yang lebih tinggi di dunia praktisi?

17/08/1945 ~ 17/08/2012

67 Tahun Indonesia Merdeka ; banyak orang merayakan hari ini dengan berbagai cara, dengan caranya sendiri. Aku pun begitu. Tidak melulu (meskipun perlu) dirayakan dengan upacara pengibaran bendera merah putih. Aku merayakannya dengan sederhana. Di depan komputer lipat, jaringan internet, dan sebuah halaman bernama blog. Hari ini kujadikan hari untuk membentuk blog pertamaku. Alasannya sederhana, aku hanya mencari tanggal yang mudah diingat agar blog ku ini bisa menjadi memori tersendiri bagiku. Alasan kedua ya karena 17 Agustus hari dengan momentum yang paling dekat dengan keputusanku untuk akhirnya membuat blog. Semoga aku bisa konsisten dalam menulis. Menulis sesuatu yang dekat dengan keseharianku dan yang terpenting menulis sesuatu yang bernilai dari keseharianku.

Terimakasih para pejuang, sehingga kini aku dan generasiku bisa menikmati kemerdekaan yang dahulu kalian impikan. Terimakasih.